A Thousand Sakura Petals
Musim ini sakura bermekaran dengan indah…
Seorang perempuan terlihat sedang duduk di kursi taman bunga central park. Parasnya yang lembut menambah kecantikan sang gadis. Perempuan itu duduk tepat di hadapan pohon sakura yang sedang bermekaran. Tapi, walaupun perempuan itu disuguhi pemandangan bunga sakura yang indah, raut wajahnya terlihat sedih ketika memandang kelopak sakura yang mulai berjatuhan itu. Ekspresinya menggambarkan kesedihan, kepedihan, dan rasa putus asa akan sesuatu yang mungkin tak akan ada satu orang pun yang mengerti.
Nama gadis itu adalah Ageha. Sebulan yang lalu, dokter memvonis bahwa Ageha positif terkena kanker hati akut dan sudah masuk stadium akhir. Dan dia hanya menunggu sisa-sisa hidupnya sebelum ajal menjemput. Ageha putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Tapi, berapa kali pun ia melakukan percobaan bunuh diri. Usaha yang ia lakukan selalu gagal oleh beberapa hal yang selalu menghalanginya.
Suatu hari dokter menyarankan untuk menjalani operasi, tapi kemungkinan untuk berhasil sangatlah sedikit dan taruhannya adalah nyawa Ageha sendiri. Ageha sangat sedih dan merasa ia takkan bisa sembuh juga tidak akan bisa bersekolah seperti dahulu. Dia marah kepada tuhan, Kenapa engkau memberikanku cobaan yang sangat berat? Aku tak ingin meninggalkan ibuku sendirian. Kenapa engkau begitu tega memberikanku penyakit yang sangat mengerikan ini, tuhan. Jika engkau mencabut nyawaku, lalu ibuku bagaimana? Aku tak mau melihat ibuku terus menangis karena kepergianku. Batinnya. Sekarang Ageha duduk di kursi taman central park, sembari merenungkan nasibnya kelak dan berusaha untuk menentukan pilihan, dioperasi atau tidak.
Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda berdiri memperhatikan seorang perempuan sedang duduk dengan raut wajah sedih melalui kelopak sakura yang berjatuhan. Ia memandang perempuan itu dengan penuh tanya. Sedang apa gadis itu? Batinnya. Ia mendekati perempuan tersebut, semakin mendekat raut wajah pria itu berubah menjadi terpesona. Ia tidak terpesona dengan paras perempuan tersebut, melainkan pandangan sedih akan gadis tersebut. Ia merasa ditarik oleh mata sayu itu. Mata yang berwarna hitam kehijauan tajam tersebut. Perlahan ia berjalan mendekati perempuan itu, ketika ia mulai berada di dekatnya…
Tess… tess…
Ia terkejut melihat air mata yang mengalir dari pipi gadis itu. Ia terpana akan tangisan yang ditahan gadis itu walaupun air matanya tak tertahankan lagi. Ia pikir, gadis ini mengalami hal pahit yang membuatnya sedih. Saat itu dia seakan ingin rasa pahit gadis itu cepat sirna dan dia ingin melihat seulas senyuman terlukis di bibirnya.
“Kamu tak apa-apa?” Ageha menoleh, ia mendapati sosok laki-laki rupawan yang menyodorkan sapu tangan kepadanya sambil tersenyum lembut. Ageha meraih sapu tangan itu dengan senyum kecil di bibirnya.
“Aku… tidak apa-apa,” jawabnya, sembari menyeka air matanya.
“Sedang apa kamu sendirian di sini? Dan… kenapa kamu menangis?”
Ageha diam. Laki-laki itu menyadari kata-katanya yang sangat tidak sopan untuk seseorang yang baru saja bertemu. Ia pun mulai mencari kalimat yang dapat menghibur Ageha.
“Maaf, jika aku asal tanya. Oh iya, namaku Ryuga. Salam kenal.” Sahut laki-laki itu dengan senyuman lebar di bibirnya.
“Aku Ageha. Salam kenal juga.”
“Wah… nama yang indah. Hm… kupu-kupu ya… indah sekali. Menurutku… kupu-kupu itu adalah hewan yang cantik,”
Kening Ageha mengerut. Apa dia baru saja menggodaku?. Batinnya.
“Oh, maaf. Jika aku berkata yang tidak-tidak. Tapi kenapa kamu menangis sendirian di sini. Apa tidak bahaya, di sini banyak orang mabuk, lho.”
“Tidak. Aku hanya ingin berfikir jernih saja. Lagi pula rumahku ada di dekat sini.”
“Benarkah? Rumahku juga ada di dekat sini. Aku baru pindah, makanya rumahku agak berantakan. Jadi aku malas di rumah. BE-RAN-TAK-AN sekali.”
Ageha merasa geli dengan perilaku laki-laki yang ada di hadapannya ini. Tapi ia pikir, lelaki ini bukanlah orang jahat. Senyuman tersinggung dari bibir Ageha.
“Kenapa tersenyum. Emang ada yang lucu dari aku?”
“Tidak. Tidak ada, kok. Aku hanya heran, dari semua orang yang melewati taman ini dari tadi. Tidak ada satu pun yang berani menyapaku. Tapi… aku salut dengan keberanian kamu untuk menyapaku.”
“Yah… tidak usah sungkan-sungkan. Aku orangnya memang seperti ini. Tidak bisa melihat seorang perempuan menangis begitu saja.”
Ageha tersenyum.
“Makasih karena kamu sudah menghiburku. Aku mau pulang dulu, sampai nanti,”
“Eh, kapan-kapan ketemuan lagi ya.”
Ageha meninggalkan Ryuga dengan senyumannya. Ryuga menatap sosok Ageha yang perlahan hilang ditelan kegelapan malam dihiasi bulan yang indah.
Keesokan harinya, Ageha pergi ke sekolah untuk menimba ilmu. Tapi, karena panyakit yang diidapnya. Dia tak ingin turun sekolah. Tapi ibunya memaksanya untuk tetap bersekolah dan mencari hal yang dapat menenangkan hati dan pikirannya. Karena tak ingin menyakiti hati ibu untuk kedua kalinya. Akhirnya Ageha pergi ke sekolah dengan perasaan tak enak mengganjal di hatinya. Sesampainya di sekolah, Ageha langsung disambut oleh kerabat baiknya dengan raut wajah simpati atas apa yang menimpanya. Dan hal itu membuat Ageha kesal, sangat kesal. Ia tak ingin teman-temannya menganggap bahwa ia sebentar lagi akan meninggalkan mereka.
“Ageha, aku turut prihatin dengan keadaan kamu.”
“Iya, aku juga. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat di mana kita bisa menikmati masa-masa terakhir kami denganmu.”
“Iya. Kami tidak ingin kamu pergi, Ageha”
“Sudah cukup!!!!! Aku tak ingin medengarkan omongan kalian tentang aku akan pergi atau tidak. Kalian seperti mengharapkan aku lekas mati! Seharusnya kalian memberikanku semangat untuk hidup! Bukan sebaliknya!” Bentaknya.
Semua murid yang ada di kelas menatap Ageha dengan pandangan yang menusuk. Tanpa peduli, ia berjalan melewati teman-temannya, dan duduk di kursinya. Setelah inisiden itu, guru yang mengajar fisika pun masuk ke dalam kelas. Ketua kelas langsung memberikan aba-aba kepada semua murid untuk memberi hormat.
“Berdiri,”
“Beri hormat,”
“Selamat pagi, pak.” Ucap semua murid yang ada di dalam kelas.
“Selamat pagi. Ya, anak-anak. Hari ini kalian mendapatkan teman baru.”
Seluruh murid mulai bergemuruh.
“Tenang… tenang! Dia adalah murid pindahan dari Tokyo, jadi kalian semua harus membantunya beradaptasi di lingkungan sekolah.”
“Baik pak…”
“Ya, bagus. Kalo begitu silahkan masuk, Suzuki.”
Lelaki muda berbadan tegap dan berbahu bidang yang tampan masuk ke dalam kelas. Dia adalah murid baru yang diungkit guru tadi. Ketika laki-laki itu masuk, semua perempuan yang ada di dalam kelas tercengang. Melihat betapa gagahnya murid baru itu. Dan mulai bergemuruh.
“Tenang semuanya! Jangan ribut! Ya, silahkan suzuki. Perkenalkan dirimu.”
“Baik. Perkenalkan nama saya Suzuki Ryuga. Kalian bisa panggil saya Ryuga, mohon bantuannya.”
Ageha yang sedang memasukan buku pelajarannya ke dalam laci. Merasa mendengar nama yang tak asing di telinganya. Ia kemudian menoleh ke anak baru yang berdiri di depan kelas itu. Dan ia langsung tahu bahwa murid baru itu adalah lelaki yang ia temui malam tadi. Tapi reaksi Ryuga ketika melihat Ageha sangatlah dingin. Dia hanya melihat Ageha dengan pandangan dingin dan kembali berkonsentrasi dengan seisi kelas.
“Terima kasih. Kamu bisa duduk sekarang.”
Ryuga berjalan melalui bangku-bangku murid lain dengan tatapan berbinar dari para gadis. Ia menemukan bangku kosong di belakang Ageha, dan ia berjalan menuju bangku kosong itu. Saat mereka berpapasan, Ageha hanya tertunduk diam dan mebiarkan laki-laki itu melewatinya serta duduk di belakangnya.
Ternyata semua laki-laki sama saja. Batinnya.
Guru fisika yang sering dipanggil Nakao sensei itu mengabsen semua murid yang ada di dalam kelas.
“Abbechi?”
“Hadir.”
“Ageha? Apa Ageha hadir?”
“Saya hadir, sensei.” Jawab Ageha.
Guru tersebut memandang Ageha yang tertunduk diam. Sewaktu dokter memvonis bahwa ia kena kanker hati. Ageha tidak pernah masuk sekolah. Dan walaupun masuk sekolah, ia tidak ada di dalam kelas. Melainkan di atas atap.
“Ageha, nanti bisa ikut saya ke kantor guru?”
“Iya, sensei.”
Ageha beranjak dari tempat duduknya, diikuti pak Nakao. Tapi sebelum keluar, pak Nakao berpesan kepada muridnya.
“Anak-anak, kalian saya tinggal sebentar. Kalian self–study saja. Kalau begitu bapak permisi.”
“Baik, sensei.”
Ketika pak Nakao dan Ageha meninggalkan ruangan kelas 3-2, seluruh murid yang ada di kelas langsung ribut dan siswi perempuan mulai mengerubungi Ryuga. Bertanya-tanya apa dia punya pacar, rumahnya di mana, alamat E-mailnya apa, serta tipe perempuan yang ia sukai. Ryuga menanggapinya dengan santai, ia menjawab semua pertanyaan yang di berikan oleh semua siswi perempuan yang nge-fans dengannya. Sementara siswa laki-laki mulai mendekati Ryuga dan mengajaknya bergaul dan dia langsung berbaur dengan mereka. Sebuah kalimat muncul di pikirannya. Ternyata gadis yang kutemui malam tadi bersekolah di sini. Aku tak menyangka itu. Tapi melihat dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia terkejut dengan perlakuanku yang sangat berbeda dari malam itu. Dasar perempuan bodoh, perempuan memang mudah dikelabui. Batinnya.
Sementara itu di kantor guru. Ageha terduduk diam dengan wajah tertunduk. Di depan Nakao sensei terdapat tumpukan absensi dirinya yang sudah terlalu banyak. Pak Nakao menghela nafas, ia sangat tidak mengerti dengan muridnya ini.
“Ageha, bapak tahu dengan keadaan yang sedang yang kau alami saat ini. Tapi hal tersebut jangan membuatmu berhenti bersekolah.”
Ageha hanya diam, tidak mendengar kalimat yang dikatakan pak Nakao.
“Hhh… jika kamu terus seperti ini. Bapak tidak jamin kamu akan lulus. Kamu terlalu banyak absen. Apa kamu ingin membuat ibumu kecewa?”
Ageha menggelengkan kepalanya. Dan berkata.
“Sensei. Menurut sensei apakah saya akan sembuh?”
Nakao terkejut mendengar perkataan muridnya yang tiba-tiba. Ia tahu Ageha terkena kanker hati stadium akhir yang sukar untuk di sembuhkan. Tapi jika Ageha bertanya seperti itu membuatnya kehabisan kalimat dan terdiam.
“Apakah saya bisa mengikuti ujian negara? Dengan keadaan yang saya yang seperti ini. Dan tidak adanya orang yang memberikan saya semangat untuk hidup. Apakah saya akan bertahan menghadapi semuanya…”
“Teman baik yang dulu saya punyai selalu mengatakan hal yang sangat saya benci. Mereka merasa saya akan segera meninggalkan dunia ini. Terlebih lagi, saya tentu tidak ingin mengecewakan ibu saya dan juga tidak ingin meninggalkannya. Saat ini saya tidak memiliki tujuan hidup dan tidak mendapatkan semangat hidup dari orang lain…”
“Mendapatkan semangat hidup dari orang lain… orang lain…”
Ageha meneteskan air matanya.
“Mendapatkan semangat hidup dari orang lain yang peduli dengan saya. Dan saat ini tidak ada satu pun orang yang peduli dengan saya. Dan saya takut, saya takut jika ajal tersebut mendatangi saya dengan cepat. Saya takut…”
Ageha mengeluarkan isi hatinya sambil meneteskan air mata. Pak Nakao melihat muridnya dengan pandangan iba, ia tidak menyangka Ageha yang selalu berekspresi kuat dan tak takut dengan penyakitnya. Ternyata sangat rapuh dan rentan. Nakao menatap mantap muridnya.
“Maka… maka berusahalah untuk selalu hidup!”
Ageha mengangkat wajahnya, terkejut akan kalimat yang dikatakan pak Nakao.
“Berusahalah hidup untuk ibumu. Berusahalah hidup untukku. Berusahalah hidup untuk orang yang menyayangimu. Berusahalah hidup untuk dirimu sendiri. Berusahalah hidup untuk masa depanmu…”
Pak Nakao mendekati Ageha dan bediri di sampingnya serta memegang tangan Ageha.
“Berusahalah hidup untuk satu hal yang dapat membuatmu kuat. Kuatlah, karena putus asa bukanlah jalan keluar untuk sembuh dari penyakitmu. Buanglah rasa takut yang ada di dalam dirimu. Bapak akan selalu mendukungmu untuk hidup, dan begitu pula ibumu. Dia tentu tidak ingin melihat anaknya menjadi seperti ini. Maka untuk itu, berusahalah hidup untuk semua orang yang peduli dan sayang padamu.”
Ageha terdiam sejenak mendengar semangat yang diberikan oleh pak Nakao. Tangis Ageha lepas dalam pelukan pak Nakao yang hangat. Air mata kesedihan yang selama ini ia tahan terlepaskan. Yang ada hanyalah air mata kebahagiaan yang telah diberikan oleh pak Nakao untuk dirinya.
“Sebenarnya semua nilai yang kau peroleh ketika kau aktif. Semuanya nilai yang baik. Dengan nilai ini, mungkin kamu akan dengan mudah diterima di SMA bergengsi.”
Pak Nakao membolak-balik data Ageha yang ia pegang.
“Asalkan kau aktif belajar dan selalu masuk sekolah. Bapak yakin kamu akan lulus walaupun absensi kamu yang banyak akan merepotkan bapak. Karena harus berdebat dengan guru yang lain.”
“Iya, pak. Saya akan berusaha. Terima kasih atas bantuan bapak selama ini.”
“Oh, tidak apa-apa. Kamu sudah bapak anggap seperti anak bapak sendiri. Jadi jangan sungkan.”
Ageha tersenyum.
“Kalau begitu. Saya permisi dulu, pak.”
“Ageha…”
Langkah Ageha terhenti dan tidak jadi menutup pintu ruang pak Nakao.
“Kamu harus selalu mengingat kata-kata bapak tadi.”
“Baik, pak. Saya akan selalu mengingatnya.”
Ageha meninggalkan ruangan pak Nakao. Ageha berjalan menelusuri koridor SMP Swasta Madoka High yang sangat panjang. Sebersit perasaan bersalah muncul. Dari dulu cuma pak Nakao yang selalu mensuportnya, sedangkan teman baiknya hanya ingin bersenang-senang bersamanya. Ketika ia sedang tertimpa masalah, temannya menghilang tak tau kemana. Saat itu Ageha memutuskan untuk melawan penyakit yang di deritanya. Ia tidak peduli kapan ajal itu akan mencabut nyawanya. Dia sadar, betapa salahnya ia menyalahkan tuhan yang menciptakannya tanpa ada kekurangan apa pun. Dan saat itu juga ia berfikir, bahwa penyakit yang diberikan tuhan untuknya adalah sebuah berkah. Berkah untuk hidup dan melawan segala rintangan dengan tegar dan tanpa putus asa.
To Be Continue
Diam Diam Suka
Aku… Siswa biasa yang bersekolah di SMA favorite. Entah apa yang aku harapkan saat itu. Kenapa aku bisa masuk SMA, yang notabennya adalah siswa-siswa famous dan berprestasi. SMA Tuna Bakti. SMA yang paling banyak memenangkan kejuaraan. Baik dalam bidang pelajaran, olahraga, seni dan bidang umum lainnya. Aku termasuk siswa di bidang olahraga. Khususnya tenis lapangan. Aku sering menjuarai kejuaraan. Sebenarnya, aku nggak tertarik sedikit pun dengan tenis. Awalnya… aku cuma keseringan nemenin mama kursus tenis. Lama kelamaan, kayaknya tenis menyenangkan. Aku mulai mencoba. Dan akhirnya berani ikut pertandingan. Sudah banyak pertandingan yang aku ikuti. Nggak disangka, karena kerja kerasku aku bisa juara satu Indonesia.
SMA Tuna Bakti bukan sekolah pilihanku. Aku masuk ke sana gara-gara papa ngebet banget aku sekolah di sana. Ya… mau nggak mau aku harus nurut. Namaku Vaisha Hashkara. Biasa dipanggil Vaisha.
Kelas 11 IPS 2. Di SMA ini ada satu cowok yang bikin aku heran.
Yaitu Ajun. Ajun Aldevaro. Kelas 11 IPS 1. Kapten basket yang famouuusss banget. Hampir semua cewek-cewek di sekolah ngefans sama dia. Rebutan, siapa duluan yang jadi pacarnya. Aku nggak mau ikutan acara kayak begituan. Ngrebutin cowok yang nggak jelas.
Ajun emang ganteng, pinter, jago basket, ramah, pokoknya multi talent. Tapi kalo mandang cowok dari kelebihannya aja, itu sih bukan tulus namanya.
Hari ini pertandingan basket rutin SMA Tuna Bakti dengan SMA Merah Putih. Semua siswa, apalagi yang cewek-ceweknya berteriak memanggil nama Ajun. Itu sudah menjadi hal biasa. Jadi nggak heran lagi itu terjadi setiap Ajun tanding. Aku sama sekali nggak berminat untuk nonton. Tapi kali ini aku nggak bisa menghindar. Secara aku ketua PMI terbaik sedaerah tahun ini. Jadi terpaksa, aku harus nonton sampai selesai. Kalo aku nggak nonton, nanti ada yang cidera… trus akunya nggak ada, bisa abis dimarahi aku.
Pertandingan sudah setengah jalan. SMA Tuna Bakti tetap memimpin. Sorak-sorak penonton terdengar semakin keras. Dan itu yang membuat aku semakin bosan untuk nonton.
Saat Ajun ingin melakukan slum dunk, tiba-tiba ia didorong lawan sampek kakinya terkilir. Ia terlihat kesakitan, tapi ia tetap tegar dan bertahan. Aku hanya melihatnya dengan lamunan.
“Vaisha, itu ada yang cedera. Cepetan bantuin!” ucap Chika, salah satu anggota PMR.
“Vais, apa yang kamu lakuin” kata Sheina, sahabatku sekaligus satu-satunya anggota PMI sepertiku.
Aku tetap tak menggubris.
“Vaisha!” teriak Sheina sambil menepukku.
Aku tersadar dan langsung berdiri menuju Ajun.
“Biarin aja dia yang nolongin. Dia kan nggak suka basket. Mungkin kalo nolongin kapten basket, dia bisa suka basket!” ucap Sheina.
“Suka basket, atau suka yang main basket?” canda Chika.
Mereka berdua saling tatap dengan senyum.
“Ka… kamu nggak… papa? Kamu bisa tahan kan?” tanyaku sedikit terbata dan gugup.
“Aku bisa tahan kok” jawabnya singkat.
Tanpa basa-basi aku langsung meraih tangannya dan menaruhnya di pundakku. Lalu membawanya ke UKS. Entah aku sadar atau tidak telah melakukan hal itu. Tapi jujur aku benar-benar tidak sadar. Hal pertama yang aku lakukan, adalah melepas sepatunya.
“Eh… tunggu-tunggu, biar aku sendiri aja yang nglepasin sepatuku.”
“Kok gitu?”
“Udah biar aku sendiri” pintanya.
“Aku aja”
“Udahlah aku aja”
Tanpa panjang lebar aku membentaknya.
“Kamu itu gimana sih, udah bagus-bagus aku bantuin, malah sok pinter bisa sendiri. Mendingan tadi nggak usah aku tolongin. Toh kamu bisa sendiri” emosiku kuluapkan dalam kata demi kata.
Sejenak aku terdiam. Ajun masih memandangiku. Anehnya ia sedikit tersenyum.
Aku tersadar.
“Ma… maaf! Aku kebablasan!” ucapku
“Nggak papa! Nggak ada masalah kok.” jawabnya, lagi-lagi dengan tersenyum.
“Kamu kok senyum sih, nggak malah marah?”
“Buat apa marah, kalo orang di depan aku ini nggak ngebuat aku marah”
“Tapi aku kan udah bentak-bentak kamu”
“Itu bukan bentak, tapi berjuang untuk membantu. Aku berpikir kalau kamu berjuang buat bantuin aku”
“Nggak juga!”
“Itu kan pendapat aku”
Aku melepas sepatunya dan mulai mengobatinya.
“Aduh, sakit tau!” helanya.
“Maaf!”
Lalu ia senyam-senyum lagi melihatku.
Aku balik menatapnya.
“Kamu, kenapa senyam-senyum gitu. Ihh… ngeri deh!”
“Kamu… cantik!” ucapnya.
“Heleh, aku nggak akan terbujuk rayuan kamu. Meskipun semua temen bahkan semua cewek di sekolah ini suka dan ngefans banget sama kamu, aku nggak bakal kayak mereka. Camkan itu!”
“Aku nggak ngeharusin kamu suka sama aku. Tapi kayaknya… ”
“Apa?” tanyaku penasaran
“Aku… suk…”
Tiba-tiba…
Semua cewek-cewek yang tadi nonton pertandingan masuk dan ngerumunin Ajun. Saking banyaknya aku sampek terdorong ke belakang.
“Vaisha, kamu nggak papa kan?” tanya Sheina.
“Nggak papa kok. Tenang aja, Vaisha tahan banting”
“Iya, percaya. Eh… gimana Ajun?”
“Udah aku obatin. Oh yaa, tadi Ajun tuh senyam-senyum sama aku. Aku jadi ngeri deh”
“Apa, senyam-senyum? Itu tandanya… Ajun, suka sama kamu”
“Ya nggak mungkin lah. Kamu tuh ada-ada aja”
“He, em!!!”
Hari ini bete banget rasanya. Sheina nggak masuk sekolah, padahal dia yang nemenin aku setiap saat. Pelajaran semuanya jamkos, karena hari ini ada event pertandingan gitu di sekolah. Jadi lariku ya… ke taman sekolah.
“Kalo kebanyakan ngelamun, nanti bisa kesambet lo”
“Siapa juga yang ngelamun”
“Ih.. ih.. ih… udah ketauan tapi nggak mau ngaku”
“Kamu kenapa sih gangguin aku?”
“Emang nggak boleh, akukan juga butuh temen”
“Temen kamu kan banyak, nggak aku aja. Lagi pula aku bukan temen kamu, kenal aja enggak.”
“Kalo aku maunya kamu yang jadi temen aku, gimana? Meski kamu belum kenal aku, aku kan bisa kenal kamu.”
“Terserah deh mau kamu!”
Hening di antara kami.
“Oh ya, gimana kaki kamu?”
“Udah mendingan kok. Kan yang ngobatin, ngobatinnya pake… cinta”
“Kamu apaan sih? Nggak jelas”
“Boleh ngomong sesuatu nggak?”
Aku mengangguk.
“Aku sebenernya, udah tau kamu sejak kelas 10. Saat itu kamu lagi sendirian, sambil baca buku di taman ini. Padahal semua cewek bahkan semua murid lagi nonton pertandingan basketku. Sejak itu aku penasaran sama kamu. Kamu tuh terlihat beda sama cewek-cewek yang lain. Tapi aku nggak berani deketin kamu, aku kira kamu nggak bakal suka sama aku. Oh ya, soal kemarin aku sengaja ngebuat diri aku cedera. Aku dapat informasi kalo yang jadi PMInya itu kamu. Aku minta bantuan ama kapten basket Merah Putih untuk sengaja dorong aku saat aku slam dunk. Agar aku bisa ketemu, dan bisa bicara sama kamu. Jadi aku minta maaf, udah ngerepotin kamu. Dan thanks juga!”
Aku hanya terdiam tak percaya. Bukan masalah Ajun udah kenal aku, tapi kemarin Ajun udah sengaja nyelakain dirinya sendiri dan bohong, cuma buat bisa ngomong sama aku.
“Jadi kamu bohong sama aku”
“Bukan gitu maksud aku Va, dengerin aku dulu!”
“Tapi kamu bohong kan sama aku. Aku nggak percaya kamu bisa lakuin itu. Kamu mau ngomong sama aku, ya ngomong aja, nggak perlu bohong segala”
“Emang jadi masalah kalo aku bohong sama kamu?”
“Ya Iyalah, akukan paling nggak suka sama orang yang bohong. Meskipun Bohongnya sekecil apapun. Apalagi bohongnya sampek nyelakain dirinya sendiri, kayak kamu!”
“Kamu tuh lebay ya! Kayak anak kecil!”
“Kamu bilang apa, aku lebay, kayak anak kecil? Kamu tuh yang kayak anak kecil. Apa-apaan coba, pake bohong segala!”
“Eh, kamu kok ngomong gitu. Aku kan cuma becanda. Kamu malah ngata-ngatain aku!”
“Yang mulai duluan siapa, kamu!”
“Eh, cewek nggak jelas… kamu tuh emang agak sinting ya! Nyesel aku ngomong sama kamu!”
“Ya udah, trus kenapa masih di sini? Males tau ngeliat kamu!”
“Oke! Aku pergi. Jangan harap aku bicara lagi sama kamu!” Ajun berlalu. Sepertinya ia sungguh-sungguh marah.
Matahari bersinar dengan hangatnya. Burung-burung terbang melintasi angkasa. Semua orang berusaha bangun dari mimpi mereka. Segera melakukan apa yang telah menjadi tradisi mereka. Entah kenapa aku bangun kesiangan hari ini. Mungkin aku lelah. Atau terlalu memikirkan masalah kemarin.
“Aduh… ma, aku udah telat nih. Aku nggak usah sarapan ya!”
“Makanya kalo tidur jangan larut malam, kesiangankan jadinya!”
“Siapa yang tidur larut malam. Aku tuh kemarin tidur jam 10. ”
“Ya udah, kamu bawa bekal aja!”
“Nggak usah, aku langsung berangkat. Assalamuallaikum!”
“Eh… ya nggak boleh gitu. Nih bawa!Kalo nanti tiba-tiba kamu pingsan gimana?”
Mama mengulurkan sekotak sandwich padaku.
Aku terpaksa menerimanyanya, nanti kalo nggak aku terima bisa panjang urusannya. Dan aku malah makin telat.
Dengan sigap aku melajukan motorku.
Sesampainya di sana bel sudah berbunyi. Turun dari motor aku langsung berlari. Berlari cepat, sangat cepat.
Tiba-tiba…
Brukkkk…
Hatiku seperti melayang di angkasa. Bersama peri-peri yang asyik berdansa. Dengan cinta dan bahagia. Senyum tawa menyertainya.
Saat kutatap matanya aku langsung bangkit.
“Maaf, aku nggak sengaja. Aku nggak bermaksud nabrak kamu” ucapku tertunduk.
“Nggak papa, nggak masalah kok, cewek aneh”
Aku tak menganggapnya dan segera pergi…
Waktu kujalani seperti biasa.
Pulang sekolah…
“Vaisha… aku duluan ya. Bye!” pamit Sheina, saat aku masih merapikan bukuku.
Aku tersenyum kepadanya.
Kelas mulai sepi…
Tiba-tiba hp-ku bergetar. Nomornya nggak dikenal. Tapi aku tetap membacanya.
To: Vaisha Nohan Hashkara
‘Aku minta maaf! Sekarang aku tunggu di lapangan basket. Jangan takut aku bukan orang jahat. Aku mohon. Plisss Vaish!
Aku bingung, tapi aku tetap menemuinya. Kulangkahkan kakiku segera. Sebelum waktu berlalu dengan sendirinya.
Aku berdiri di tepi lapangan basket. Lama sekali. Hingga aku tak sabar.
“Sorry, udah nunggu lama ya? Malah jadi kamu yang nungguin aku.”
Aku berbalik ke suara itu.
“Ajun!” ucapku lirih
“Aku minta maaf, soal kemarin. Aku udah emosi sama kamu. Dan aku udah ngata-ngatain kamu. Abisnya kamu juga sih! Kamu yang mulai duluan!”
Aku sedikit menatapnya tajam.
“Udahlah, lupain masalah itu! Sekarang yang mau aku omongin bukan masalah itu. Aku mau ngomong kalo aku… emm… aku… aku…”
Aku tetap mendengarkanya meski kata-katanya tidak terlalu jelas dan patah-patah.
“Oke! Jujur, pertama kali ketemu kamu aku udah tertarik sama kamu. Dan aku… suka sama kamu”
“Suka dalam arti?”
“Aku… mencintai kamu”
Hening seketika.
“Kamu mau nggak, jadi… pacar aku!”
Aku tetap diam.
“Kamu nggak suka dengan perkataan aku?”
“Bukan! Bukannya gitu. Aku kaget aja, orang sebaik kamu, seganteng kamu, sepinter kamu, dan… seperfect kamu, suka sama aku. Cewek nggak jelas, yang nggak sesempurna malaikat.”
“Liat orang jangan luarnya aja. Mandang orang jangan kelebihannya aja. Itu kan yang ada di pikiran kamu. Dan aku suka cara berpikir kamu”
“Gimana ya. A… aku bingung”
“Kalo kamu nggak mau nerima aku, nggak papa”
“Kamu serius?”
“Iya!”
“Aku… nggak bisa”
“Nggak papa, itu hak kamu!”
“Maksudnya aku nggak bisa nolak kamu!”
“Beneran? Serius?”
Aku mengangguk
Lagu Kita
Ketika cahaya bersinar, menembus celah-celah kecil jendela. Udara sejuk menyentuh hingga ke raga. Hembusan angin terdengar mendesah berirama. Bunga pagi serentak merekah merona. Ketika bunga tidur terbuyarkan oleh mata. Mata yang awalnya terpejam, kini terbuka nyata. Aroma sarapan menggugah selera. Ingin rasanya cepat-cepat menikmatinya.
“Wah, tumben ma… masaknya enak-enak?”
“Jadi menurut kamu selama ini masakan mama nggak ada yang enak?”
“Maksud aku bukan gitu ma, ya… tumben aja masaknya nggak kayak biasanya”
“Emang nggak boleh sekali-kali kita sarapan beda?” tanya papa
“Boleh sih pa, bahkan kalo tiap hari kita sarapan beda terus, bisa habis dua piring aku!”
“Kamu tuh ya, ada-ada aja!” ucap mama
“Erfa, Erfa!” tambah papa
Setelah menikmati lezatnya sarapan dan hangatnya obrolan, Erfa pamit untuk berangkat.
Ini adalah awal Erfa masuk SMA. Sekolah dimana kita mulai untuk berpikir dewasa. Dimana sikap mandiri nomor pertama. Dan teliti dalam memilih pergaulan. Setelah sampai, Kaila menunggu Erfa di tempat parkir. Kaila adalah sahabat SMP Erfa. Sejak masih duduk di kelas 1 SMP, Erfa dan Kaila sudah berteman baik. Belum pernah terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka.
“Sorry! Udah nunggu lama, kamu juga sih kebiasaan nungguin aku!”
“Kitakan sahabat, kita harus masuk sama-sama!”
“Oke, oke!”
Mereka masuk kelas bersama.
Sebelum sah jadi siswa SMA, harus ada yang namanya MOS. Dan hari ini adalah MOS pertama.
Saat di kelas…
Kakak OSIS memberikan semuanya tantangan.
“Kalian semua harus mencari satu pasangan untuk kalian ajak kerja sama. Yang cowok milih yang cewek. Dan yang cewek milih yang cowok. Tapi… milihnya harus temen yang beda kelas. Jelas…!”
“Jelas, kak!”
Semua yang ada di kelas berhamburan keluar.
Begitu pun Kaila. Mereka semua berlari mencari yang mereka cari. Tapi berbeda dengan Erfa. Ia terlihat santai dan masa bodo. Sambil berjalan pelan di antara desakan banyak orang. Dengan santainya, Erfa duduk di salah satu kursi di bawah pohon depan kelas.
“Kamu kelihatannya kok santai banget! Nggak panik?”
“Panik untuk apa? Dan kenapa harus panik?”
“Soal tantangan dari kakak OSIS!”
“Entahlah, aku juga bingung kenapa aku nggak panik atau cepet-cepet cari pasangan buat kerja sama”
“Aneh kamu!”
“Aneh gimana?”
“Lupain aja! Oh, ya… Richard!”
Tangannya terulur manis. Terlihat kulit putih nan bersih. Senyum mengembang yang disertai tatapan tajam.
Erfa tak menanggapi uluran tangannya. Erfa malah menatap bingung Richard.
“Kamu gimana sih, diajak kenalan kok malah nggak jelas? Siapa nama kamu?” ucap Richard.
“Erfa…!” jawab Erfa cuek memalingkan wajahnya.
Lalu… salah satu kakak OSIS cewek menghampiri mereka.
“Kalian kok malah pacaran, ini kan waktunya MOS!”
Mereka berdua langsung berdiri.
“Enggak kok kak, kita nggak lagi pacaran.” ucap Richard.
“Iya, kak!” tambah Erfa.
“Oh, iya. Kamu itu ketua organisasi musik yang terkenal ganteng itu kan?” tanya kakak OSIS kepada Richard.
“Iya, kak!” sambil tersenyum.
“Em… kakak boleh minta foto nggak? Ya, sekali-kali foto sama cowok seganteng kamu!”
“Boleh kok kak!”
Erfa terlihat bingung nggak jelas. Sementara kakak OSIS yang bernama Distya itu asyik berfoto dengan Richard.
“Oh, maaf ya… pacar kamu aku ajak foto bareng. Kamu nggak marah kan?” tanya kak Distya ke Erfa.
“E… kak, dia itu bukan…”
“Pacar aku pasti nggak marah kok kak. Tenang aja dia orangnya pengertian!” potong Richard.
Erfa langsung menatap sinis Richard.
“Kalian cepetan ke aula, kumpulnya ke sana!”
“Makasih kak!” ucap Erfa.
Mereka bergegas ke aula.
“Kamu tuh gimana sih, akukan bukan pacar kamu!” jengkel Erfa.
“Ya mau gimana lagi, kalo aku nggak bilang kamu itu pacar aku… aku pasti dikejar-kejar sama kakak OSIS tadi”
“Ya itu derita kamu!”
Erfa berjalan cepat meninggalkan Richard.
Erfa masuk aula diikuti dengan Richard di belakangnya.
“Hey, kamu!” kakak OSIS laki-laki bernama Joy memanggil Erfa.
Erfa menunjuk diriya sendiri.
“Iya kamu! Dan kamu, si ahli musik. Ke sini!”
Yang dimaksud si ahli musik itu Richard. Richard adalah salah satu remaja yang mendapat penghargaan dalam pagelaran musik simphoni. Dan dinobatkan sebagai ketua organisasi musik sedaerah.
“Kenapa ya kak?”
“Masih tanya kenapa?! Dari mana kalian?”
“Nggak dari mana-mana kak, cuma dari kelas!” jawab Erfa.
“Dari kelas? Kalian berdua ada di kelas, bareng?”
“Kelas kita beda kak!” ucap Richard.
“Oke! Cepetan duduk!”
“Makasih kak!” ucap mereka bersama.
Setelah itu, para kakak OSIS mulai mengerjai satu persatu siswa. Tiba-tiba… kakak Joy memanggil Erfa.
“Kamu!”
Erfa menoleh menanggapi.
“Sekarang kamu maju dan mainkan gitar ini!”
“Hah, aku kak?”
Kakak Joy mengangguk.
“Nggak salah nih kak, tapi kok aku?”
“Kalo nggak kamu, siapa lagi!”
“Kan bisa yang lain kak!”
“Ngeselin kamu!”
“Aku cewek kak bukan ngeselin!”
Seisi aula tertawa.
“Hih… cepetan maju, sekarang!”
“Kalo nggak mau gimana kak?”
“Apa kamu bilang?”
“Eng… enggak kok kak”
“Gitu aja kok marah!” celoteh Erfa lirih.
“Hey, kamu tu ngapain sih. Maju sana!”
Terpaksa Erfa menuruti perintah kak Joy.
Dengan sedikit gugup Erfa menata gitar di pangkuannya. Mulai memetik senar dengan patah-patah.
“Kalo main gitar yang bener!” kata kak Joy.
Erfa mulai berkonsentrasi dengan musiknya.
Suasana terlihat hening. Suara dan petikan gitar Erfa mulai terdengar. Suaranya sangat merdu, saat menyanyikan lagu. Semua tertegun mendengarnya. Setelah Erfa selesai bernyanyi suasana seketika sepi. Setelah itu, Richard tiba-tiba berdiri dan memberi tepukan. Diikuti dengan Kaila. Dan seluruh yang ada di aula.
“Kenapa harus tepuk tangan?”
“Gimana sih kamu Er, kamu nyanyinyakan bagus ya harus diapresiasikanlah!” jawab Kaila.
“Ya… dikasih hadiah kek, dikasih sesuatu kek, atau apa gitu. Biar beda!”
Semua kembali tertawa.
“Ya udah, biar beda kamu sekarang duet sama si ahli musik. Richard Ardeva.” saran kak Joy.
Seketika Erfa dan Richard kaget.
“Maksudnya bukan itu yang aku…”
“Maksudnya itu yang kamu mau!” potong kak Joy.
Semua bersorak tak karuan.
“Ayo Richard, ayo Richard, ayo Richard!!!”
Akhirnya setelah dipaksa, Richard pun maju.
Duduk di kursi samping Erfa.
“Jujur… ini baru pertama kali aku duet sama cewek. Rasanya agak beda. Dari pada duet sama cowok, aku lebih deg-degan duet sama cewek!” ucap Richard.
Semua kembali bersorak.
Mereka menyanyikan lagu yang sangat indah dan romantis. Yang membuat semua terbawa suasana dan perasaan.
Setelah lagu selesai Richard memandangi Erfa dengan sejuta senyum di wajahnya.
“Kamu kenapa mandangin aku kayak gitu?” tanya Erfa.
“Nggak papa, cuma pengen aja. ”
“Pengen?”
“Iya, ada masalah?”
“Aneh aja dengernya”
“Kalo nggak pengen aneh, jangan dibuat aneh!”
Erfa hanya tertawa kecil.
Inilah awal pertama pertemuan Erfa dan Richard. Lagu yang mereka nyanyikan akan mereka kenang. Meskipun pertemuan mereka tidak disengaja, tapi itu moment yang indah bukan?. Entah bagaimana kelanjutan hubungan mereka. Tapi bertemu dengan Erfa merupakan hal yang mengagumkan bagi Richard. Erfa… Cewek aneh, beda, humoris lagi. Cewek yang belum pernah ditemui oleh Richard selama ia dicap cowok ganteng.